Marapu dalam bencana alam :: Pemaknaan dan respons masyarakat desa Wunga-Sumba Timur terhadap bencana alam
IMMANUEL, Jimmy Marcos, Pdt. Prof. Dr. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D
2010 | Tesis | S2 Agama dan Lintas BudayaTulisan ini merupakan kajian atas realitas kehidupan sebuah masyarakat lokal di Sumba, sebuah tempat yang rentan bencana di bagian Timur Indonesia. Selama dua dekade terakhir ini, desa yang bernama Wunga, di Sumba Timur, telah mengalami beberapa fenomena alam yang terlihat membahayakan, seperti hama belalang/ Locusta Migratoria Manilensis (1998-2005), hama rumput Tai Kabala/ Chromolina odorata (2006), angin puting beliung (2007), gempa bumi (2007 and 2009), kelaparan (2007), kemarau dan kekeringan ekstrim (hampir setiap tahun), hama katak (2007), and kebakaran (beberapa kali). Desa ini dianggap sebagai tempat pertama nenek moyang orang Sumba menginjakkan kakinya di daratan. Desa yang dianggap tua ini telah mendapatkan persoalan ekologis yang disebutkan di atas, dan persoalan tersebut dapat dilihat pula sebagai bentuk bencana alam. Dengan menggunakan pendekatan etnoekologi, penelitian ini menemukan bahwa penduduk Wunga, yang mayoritas penduduknya (84,5%) adalah penganut Marapu (kepercayaan lokal di Sumba), mempunyai pemaknaan yang khas (emik) terhadap fenomena-fenomena alam mereka dan berbeda dari pandangan pemerintah dan akademisi yang mewakili pandangan global tentang bencana alam. Perbedaan itu terletak pada taksonomi-taksonomi dan perspektif yang dibuat oleh penduduk Wunga terhadap ekologinya. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana penduduk Wunga memandang lingkungan mereka yang rawan bencana, apa pemaknaan dan respons yang diberikan oleh masyarakat Wunga terhadap fenomena alam mereka, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya pemaknaan dan respons mereka tersebut. Kita akan melihat bagaimana identitas lokal, yakni pengikut Marapu, mempengaruhi diskursus tentang bencana alam– yang berbeda dari konstruksi global mengenai bencana alam itu sendiri. Isu politik lingkungan dan kekuatan pasar akan digunakan pula sebagai kerangka analisis dan/atau interpretasi penulis dalam memahami persoalan kemiskinan di Wunga– sebagai sebuah faktor resiko yang dapat menyebabkan bencana di kemudian hari. Respons dominan mereka, yakni hamayangu/ ritual, juga akan dianalisis dalam rangka memahami signifikansi dari respons tersebut terhadap kehidupan penduduk Wunga sendiri. Ritual akan dilihat sebagai bentuk kemampuan penduduk (resilience) menghadapi persoalan alamnya, mekanisme adaptasi mereka terhadap lingkungannya, “makanan bersama†yang menyimbolkan identitas bersama, dan cara mereka menjaga aspek maskulinitas dalam masyarakatnya.
This thesis addresses the life of indigenous people in a village community on Sumba, an island of Eastern Indonesia that is particularly prone to natural disasters. Over the past two decades a village in Eastern Sumba, called Wunga, has experienced ecological phenomena such as locust pest/ Locusta Migratoria Manilensis (1998- 2005), Tai Kabala grass/ Chromolina odorata (2006), whirlwind (2007), earthquakes (2007 and 2009), famine (2007), barrenness or drought (every year), toad pest (2007), and fires (several times). Wunga village is deemed to be the place the Sumbanese ancestors arrived at when they first came to Sumba. It was affected by the ecological phenomena mentioned, which can be also seen as natural disasters, and was hit especially hard. By using an ethno-ecology approach, the present research found that Wunga people, of whom 85,4% follow Marapu (the local religion in Sumba), have created their own meanings (based on emic view) for natural disasters that differ from the views of scholars and from the Indonesian government’s policy as the global perspective. This difference stems from the creation by the Wunga people of their own taxonomies and perspectives on their ecology. This thesis aims to answer questions about how the Wunga people view their own vulnerable ecology, what meanings and behavioral responses the Wunga people ascribe to natural disasters, and the factors that contribute to the formation of these meanings and behaviors. We will see how local identity among Marapu followers gives rise to a discourse of natural disaster that is distinct from constructions of the globalization. The issues of politics of environment and market power will also be used as a framework of interpretation to see the problem of poverty in Wunga as a risk factor of disasters that could happen in the future. The dominant response of Wunga people to their ecological problems, which is hamayangu or ritual, will also be analyzed in order to understand the significance of the response to the society. Ritual will be seen as people’s resilience, coping mechanism, “common food†which symbolizes shared-identity, and the way people maintain masculinity in the society.
Kata Kunci : Marapu,Ethnoecology,Natural disaster,Meaning,Response,Ritual, Marapu, ethnoecology, natural disaster, meaning, response, and ritual