Tubuhku diujung rotan cambuk :: Wacana pendisiplinan tubuh perempuan pasca pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh darussalam
SALEHATI, Prof. Dr. Irwan Abdullah
2010 | Tesis | S2 AntropologiTesis ini merupakan hasil penelitian lapangan yang memfokuskan pada kajian tentang wacana pendisiplinan tubuh perempuan pasca pemberlakuan Syariat Islam di NAD. Penelitian dilakukan tepatnya pada bulan Januari hingga April 2010 yang beralokasi di desa Meunasah Nga Lhoksukon Aceh Utara. Teknik penelitian kualitatif dengan metode etnografi melalui pengamatan langsung dan terlibat (observasi partisipasi) serta wawancara bebas dan mendalam banyak dilakukan selama peneliti berada di lapangan. Lebih lanjut, penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Bagaimana Syariat Islam di Aceh mengatur tubuh perempuan, dan seberapa efek Syariat Islam terhadap otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri ?; 2) Bagaimana respons perempuan terhadap pendisiplinan tubuh yang mereka alami? Hasil penelitian memperlihatkan bahwa praktik Syariat Islam di Aceh dijalankan dengan cara bar-bar dan misoginis (membenci perempuan). Praktik hukum telah berubah menjadi sebuah pengadilan rakyat yang mendehumanisasi para pelaku pelanggar Syariat, terutama untuk kasus khalwat (seksual). Fenomena ini semakin meneguhkan bahwa di Aceh sedang berjalan sebuah sistem Islam politik (yang melibatkan perangkat hukum, lembaga-lembaga, dan masyarakat) yang tidak toleran dan berwajah bengis. Syariat Islam menjadi momentum perayaaan libido seksual, karena ada kesenangan untuk mengeksploitasi tubuh perempuan sebagai objek komodifikasi. Hal ini tentu tidak terlepas dari sejarah konflik yang telah mendera Aceh selama beberapa dekade, sehingga rekonstruksi Syariat Islam yang kaffah tidak bisa berjalan dengan baik. Sejarah konflik pada awalnya berasal dari konflik vertikal-negara, telah turun menjadi konflik horizontal masyarakat-etnis yang membunuh nilai-nilai persahabatan, kemuliaan, dan permaafan, serta ikut menyelinap dalam praktik Syariat Islam. Syariah di Aceh, lebih difokuskan pada bagaimana mengatur moral dan perilaku anggota masyarakat, melalui tubuh perempuan. Terutama bagaimana mengatur busana perempuan yang baik, misalnya perempuan tidak boleh memakai celana “jins†yang ketat, dan dianjurkan untuk berbusana rok panjang, daripada memakai celana panjang. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat menyebabkan seorang perempuan mendapatkan sanksi dari Mahkamah Syariah. Keharusan bagi perempuan untuk mengenakan jilbab tersebut dalam realitas sehari – hari dapat dijumpai dengan banyaknya tulisan di tempat umum seperti masjid, pasar bahkan obyek wisata yang berisi peringatan mengenai “area wajib berbusana muslimah†atau “kawasan wajib berjilbabâ€. Tawaran tentang Islam kultural sebenarnya bukan hal baru di Aceh. Tradisi Islam yang berangkat dari kearifan lokal, adat, dan resam, pernah hidup di Aceh, sebelum remuk oleh konflik. Ingatan inilah yang harus ditumbuhkan agar Aceh tidak makin terisolasi oleh dunia Islam dan perkawanan global karena sikap introvert dan tanpa kompromi.
This thesis is the product of field research focusing at the study on the discourse of the enforced discipline over women’s body during the implementation of Syariah Islam in Aceh Province, Indonesia. The research had been done between January to April 2010 at the village of Meunasah Nga, Lhoksukon, Northern Aceh, by applying ethnograrphic method of qualitative research through direct and participant obeservation as well as free and in-depth interview. The research is meant to answer the problems formulated in three research questions: 1) How does the Syariah Islam in Aceh regulate women’s body, and how far do the women have autonomy over their own bodies? 2) What kind of actions applied to women during the implementation of Syariah Islam in Aceh as written in the decree of Perda No.5/2000? 3) How did Acehness women respond to the experience of enforced discipline over their bodies? The results of the research shows that the practice of Syariah Islam in Aceh had been implemented in a barbaric and misogynic ways. The legal practice had been changing into a kind of popular court that is dehumanizing those who break the Syariah Islam, especially those of sexual cases. This phenomena shows that in Aceh now a political-islamic system involving legal apparatus, institutions, and societies has been developed in a more and and more tenacious, not tolerant and mean-faced. The Syariah Islam has become a momentum of celebration on sexual libido, as there is pleasure to exploit women’s bodies as commodification objects. This of course inseparable from the history of conflict in Aceh that had been happened in some decades, so as the reconstruction of kaffah (perfect, total) Syariah Islam cannot well run. The history of conflict in Aceh at the beginning was a vertical-state conflict that had been descending to horizontal-people-etnic conflict -- which killed values on friendship, noble deed and act of forgiving -- have also been moving stealthily within the practice of the Syariah Islam. The Syariah La in Aceh has been focused at how to regulate the moral and behavior of society members through the bodies of women. Especially it regulates how women should wear good cloth, for example women are not allowed to wear tight trousers/jeans, and are encouraged to wear long skirts instead of trousers. The violation towards the regulation can lead a woman get the sanction from Syariah Court. In the daily reality the obligation for women to wear jilbab can be seen through so many public notifications placed at mosques, markets, as well as at tourism objects, saying “must-wear-muslim- cloth-area†or “mustwear- jilbab-areaâ€. The idea of cultural Islam actually is not a new offer in Aceh. The Islamic tradition initiated from local wisdom, adat and reusam, had ever been existing in Aceh before it was crushed by conflict. The good memory (of cultural Islam) should be nurtured to avoid Aceh from further isolation by Islamic world and global comradeship because of introverted and no compromise attitudes.
Kata Kunci : Syariat Islam,Politik tubuh,Brutalisme masyarakat