Proses dan dinamika gerakan rakyat :: Studi tentang gerakan sosial masyarakat adat Atoni Meto dalam menutup pertambangan marmer di Desa Netpala Kabupaten Timur Tengah Selatan Nusa Tenggara Timur
KRISTINAWATI, Titik, Dr. Suharko
2009 | Tesis | S2 Sosiologiturut serta mengiringi demokrasi dan ketimpangan yang terjadi dalam masa perjalanannya. Eksploitasi sumber daya alam (SDA) cenderung menciptakan ketimpangan tidak hanya dalam laju perekonomian masyarakat akan tetapi juga pada hak untuk mengakses SDA. Hal ini menjadi salah satu sebab munculnya protes masyarakat yang kemudian berujung pada gerakan sosial. Pertambangan sebagai proyek pembangunan mulai masuk kedaerah-daerah merupakan salah satu faktor pemicu keterbatasan masyarakat adat untuk mengakses SDA yang dimilikinya. Kondisi semacam ini juga dialami oleh masyarakat adat Atoni Meto, yakni masyarakat adat yang menempati sebagian besar wilayah daratan bagian Timor Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Lebih lanjut, tesis ini mendeskripsikan bagaimana proses dan dinamika gerakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat adat Atoni Meto dengan mengambil lokasi penelitian di Desa Netpala. Desa Netpala merupakan salah satu desa adat yang menjadi sasaran proyek pertambangan marmer. Persoalannya adalah karena penambangan marmer dilakukan di bukit tempat mereka melaksanakan ritual adatnya-Fatu Naususu dan Fatu Anjaf-. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat etnografi dengan cara pengambilan data menggunakan snowball sampling, dimana informan diambil berdasarkan rekomendasi dari informan kunci, yakni mak Aleta Baun yang diketahui melalui informasi internet dan buku dan berlanjut pada informan lain juga atas rekomendasi informan sebelumnya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara bebas dan observasi dengan secara langsung tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari bersama masyarakat adat selama 3 bulan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat adat Atoni Meto pada awalnya diprakarsai oleh para amaf ( kepala dari setiap suf-kawasan yang dihuni oleh klen-klen tertentu). Dengan bangkitnya para amaf maka proses hegemoni pada masyarakat adat pun kembali. Lembaga adat yang telah tidak ada karena perannya tergantikan oleh peran pemerintah desa pun pada akhirnya dimunculkan lagi. Kebangkitan masyarakat adat tersebut memicu LSM baik lokal−SSP,PIAR,PIKUL─ maupun nasional─AMAN,JATAM- turut serta mendukung aksi bersama yang mereka lakukan. Isu yang diakomodir pun semakin meluas. Akan tetapi, meluasnya isu tidak membuat gerakan sosial mereka carut-marut karena aktor-aktor gerakan sosial tersebut memunculkan satu isu bersama/ keinginan kolektif, yakni perjuangan hak ulayat. Antagonisme pada pengusaha dan pemerintah diciptakan untuk membuat garis pembatas. Chain of equivalence (Jalinan Kesamaan) menjadi basis kekuatan dalam menumbuhkan semangat pada diri para aktor dan sekaligus pengikat solidaritas antar aktor tanpa membedakan identitas─gender, agama, ras, kebangsaan, dan profesi─.
Social Movement done by indigenous people becomes phenomenon keeping up with democracy and injustice of the implementation. The exploitation of natural resources tends to create injustice not only in rate of economic society but also the right to access natural resources. Those become the base causes of society protest ended with social movement. Mining Project as development program entering to rural is one of the causes limiting indigenous people to access their natural resources. This condition is undergone by Atoni Meto indigenous people living mostly west Timor district of west Nusa Tenggara province, exactly south central Timor (TTS). Furthermore, this thesis describes how is the process and dynamic of social movement done by Atoni Meto Indigenous people. This research took place in Netpala village, because this village is one of the indigenous rural undergoing marble mining project. Actually, the problem is because the marble mining project is held in the Naususu and Anjaf Hill where indigenous people usually perform their ritual. The method used in this research is qualitative method having ethnography character by acquiring data using snowball sampling. The informants are taken based on the recommendation of the key informant . The key informant in this research is Mrs. Aleta Baun whom I know for the first time from internet and magazine. For other informants are recommended by informant before. Technique for data gathering is performed through both unstructured and indepth interview and observation where the researcher was living was living and involving in their daily activities for 3 months. From researcher performed, it found that for the first time, social movement done by Atoni Meto indigenous people is initiated by Amaf ─the chief of each Suf─. Suf is area lived by certain Klen. The resurgence of Amaf creates hegemony process in the life of Atoni Meto indigenous people. The rule of self government taken over by village administration is flashed back. The resurgence of Atoni Meto self government tends non-Government organization both local─SSP, PIAR, PIKUL─and national─AMAN, JATAM─ to join collective action. The accommodated issue is widespread. However, the extended issue didn’t create the chaos of their collective action. It is because the agents of social movement have already created the collective issue─ challenging the indigenous people Right─. The antagonism towards government and investor is created to make limiting line between government and investor. Chain of equivalence becomes not only the base of their power to promote the fires of each agent movement but also the strengthening of their solidarity among them without identity difference ─ gender, religion, race, nationality, profession─.
Kata Kunci : Gerakan sosial,Masyarakat adat,Hegemoni,Antagonisme, Social Movement, Indigenous People, Hegemony, Antagonism