Laporkan Masalah

Studi hukum kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah :: Analisa hukum Islam terhadap kewenangan Peradilan Agama, Peradilan Umum dan Badan Arbitrase Nasional

JUFRI, Prof. Dr. M. Hawin, S.H., LL.M

2009 | Tesis | S2 Magister Hukum

Perbankan Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam atau bank tanpa bunga (Interest-Free Bank), bank tanpa riba (Lariba Bank), dan bank syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana perbankan konvensional, perbankan syariah juga dalam pengoperasiannya dilakukan dengan kontrak. Suatu kontrak atau perjanjian adalah titik awal dan sumber hukum pelaksanaan perbankan syariah sesuai klausula yang disepakati masingmasing. Oleh karena itu, perjanjian terkait dengan kebebasan berkontrak dalam Islam memegang peranan penting dalam perbankan syariah. Di Indonesia penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (AAPS) yaitu dengan musyawarah kedua belah pihak atau melibatkan dewan arbitrase syariah nasional. Apabila jalan musyawarah dan arbitrase tidak menemui solusi, maka peradilan adalah jalan terakhir. Peraturan yang menjadi landasan penyelesaian di peradilan adalah (Pasal 49) UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan (Pasal 55 ayat 1 dan 2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Penyelesaian sengketa perbankan syariah bersifat optional yaitu diberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih peradilan (Agama/ Umum) mana yang menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Tetapi, dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah (Nomer 4) dan pasal 1 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), telah menegaskan kembali, bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah kompetensi absolut Peradilan Agama. Bagaimana konsep penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut hukum Islam ? Penelitian mengenai kewenangan peradilan agama, peradilan umum, lembaga arbitrase terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah ditinjau dari hukum Islam serta kaitannya dengan kebebasan berkontrak, merupakan jenis penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan mengukur sejauh mana kebenaran yuridis normatif ditinjau dari aspek hukum Islam. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut hukum Islam adalah kewenangan peradilan, tetapi sebelum ke peradilan, menurut konsepsi hukum Islam, hendaknya penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan, pertama : Perdamaian (al-Sulh), Kedua : Arbitrase (al-Tahkim), dan yang Ketiga : Peradilan (al-Qodha). Peradilan yang harus menyelesaikan sengketa perbankan syariah di Indonesia menurut hukum Islam seharusnya berisifat khusus (agama atau niaga syariah). Sehingga memberikan keadilan sesuai petunjuk al-Quran dan al-Hadits. Sedang terkait dengan kebebasan berkontrak menurut hukum Islam, dimana para pihak mempunyai kebebasan dalam menentukan siapa (tatacara, lembaga atau peradilan) dengan landasan hukum Islam.

Islamic Bank is a bank operated according to Islamic Shari’a Law principles or Interest-Free Bank, Lariba Bank, and Shari’a Bank. As conventional bank, shari’a bank is also operated by contract. A contract is a starting point or a law source of the shari’a banking operation in accordance with the requirements agreed by both parties. Beginning with the misperformance of one party leading to a dispute, although not all misperformance will create a dispute, but misperformance is the starting point of a dispute. So, the agreement related to the freedom of making contract in Islam plays an important role in shari’a banking. The right dispute settlement in shari’a banking will give satisfaction and bigger value of justice. In Indonesia, dispute settlement in shari’a banking is regulated by Law no.30, 1999, about Arbitrary and Dispute Settlement Alternative: negotiation between the both parties or involving the National Shari’a Arbitrary Council. If negotiation and arbitrary do not work, the court is the last option. Law No.3, 2006 Chapter 49 about the change of the Law No.7, 1989 about Islamic Court and Law No.21, 2008 Chapter 55 Verse 1 & 2 about Shari’a Banking. The dispute settlement of the shari’a banking is optional, it means that the both parties are free to choose common court or Islamic court. What is the concept of the shari’a banking dispute settlement in Islam? The study of the authority of the Islamic Court, Common Court and Arbitrary on the settlement of the dispute in the shari’a banking from Islamic law standpoint and its relation with the freedom of making contract, is a normative jurisdictional study, that is the study of examining normative jurisdiction from Islamic Law standpoint. The normative jurisdiction study could also be meant as a scientific research procedure to determine the truth based on the normative law logic. The study concludes, that the Islamic court has the authority to settle the shari’a banking dispute from the Islamic law standpoint using these following steps: First, Reconciliation (al-Sulh); Second, Arbitrary (at-Tahkim) and the third, Court (al-Qodha). In Indonesia, there is no regulation on which court the shari’a banking dispute should be settled. Special court is needed (Islamic Court or Shari’a Commerce Court) to give better value of justice from Al-Qur’an and Al-Hadits standpoints. Meanwhile, the freedom of making contract according to Islamic Law means, that the freedom to choose which procedure or institution used for settling the shari’a banking dispute must be in accordance with the Islamic law.

Kata Kunci : Kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah, Shari’a Bankink Dispute Settling Authority


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.