Laporkan Masalah

Keramaian (dan) Sekaten Yogyakarta 1938-2005

NI'MAH, Izzatun, Prof.Dr. Djoko Soekiman

2007 | Tesis | S2 Sejarah

Pada intinya tesis ini menguraikan adanya praktek-praktek politik budaya dalam ritual sekaten Yogyakarta pada akhir abad 20 sampai awal abad 21. Sebagai sebuah reproduksi budaya, posisi sekaten dianggap sangat strategis sebagai media penyampai pesan. Stereotipe ini mengakibatkan sekaten sebagai salah satu ritual sangat mudah ditunggangi kepentingankepentingan tertentu. Di Kasultanan Yogyakarta pada akhir jaman Kolonial Belanda tahun 1938, sekaten yang pada awalnya dianggap sebagai sarana penunjang perayaan persembahan atau kemudian disebut grebeg, belum bisa dibuktikan telah banyak diwarnai gegap gempita pasar malam. Meskipun ketika awal masa pendudukan Jepang yakni tahun 1942, mulai muncul adanya keramaian ataupun pasar malam. Bahkan dikatakan pula telah muncul stand-stand pemerintah. Pengadaan pasar malam sekaten itu mulai semarak setelah kemerdekaan Indonesia yakni tahun 1950. Durasi keramaian sekaten pun yang pada mulanya hanya 6-7 hari berubah menjadi tiga puluh hari atau satu bulan. Pada tahun 1973 sekaten dialihkan tanggung jawabnya dari pihak keraton kepada Pemerintahan Kota Yogyakarta. Pada setiap fase atau periode tersebut, bahasa-bahasa simbol yang di tampilkan juga mengalami dinamisasi. Jika pada periode walisongo sekaten dianggap sebagai media penyampai pesan dakwah Islam, maka pada periode Kasultanan Yogyakarta ruang budaya ini diposisikan sebagai media penyampai pesan politik kultural raja atau sultan. Ketika perayaan sekaten dialihkan tanggung jawabnya kepada Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 1973, selain politik budaya keraton yang ingin disampaikan, muncul pula politik ekonomi pemerintah. Bahkan pada tahun 2004-2005 ketika muncul momentum Jogja Expo Sekaten (JES), anggapan adanya politisasi budaya semakin menemukan momentumnya. Pesan bahasa yang ingin disampaikan bukan saja politik identitas, ataupun kultural. Akan tetapi lebih dari itu, yakni bahasa politik ekonomi. Keadaan keramaian sekaten yang lebih dekat pada hal-hal yang konsumeris dan modern, serta lebih berpihak pada para pemodal daripada kepada para pedagang tradisional, menjadikan ruang budaya ini pada abad 21 semakin kabur maknanya

This thesis basically describes about practices of cultural politics in the sekaten ceremony in Yogyakarta from the end of 20th century to the beginning of 21st century. As a cultural reproduction, the sekaten’s position considered to be very strategic as a medium to send (cultural) messages. This stereotypes caused a condition that sekaten as a ritual became very easy to cooptated by a certain interests. In the Sultanate of Yogyakarta, especially at the end of colonial period in 1938, the sekaten which initially considered as an intrument to support gift ceremony or the garebeg, was not coloured by night festivals yet. Some sources shows that only in the beginning of the Japanese occupation in 1942, these festivals seems initially show. Indeed, it said that the goverment’s stand also began to exist. The night exhibition lasted until post-independence era in 1950. The duration of the Sekaten festival is about thirty days or one month. In 1973, the responsibilty for Sekaten’s event organizing was moved from kraton to the Yogyakarta’s city government. In every phase or period, the language symbols which performed was also changed. If sekaten in the Walisongo era was considered as a medium for Islamic dakwah message, in the Sultanate of Yogyakarta period this cultural space was positioned as a medium for the sultan or king’s cultural politics messages. When the resposibility for sekaten festival was given to Yogyakarta city government in 1973, beside the kraton’s cultural politics which about to presented, the government’s economical politics was also emerged. Moreover in 2004-2005 when Jogja Expo Sekaten (JES) was held, assumption about cultural politicizing had found its momentum. Messages which implied in the event was not only politics of identity or culture, but also the language of economical politics. The condition of the sekaten festival which nearer to consumeric and modern life, and also inclined to capitalist’s interest rather than traditional merchant, making this cultural space’s meaning getting blurred in the beginning of 21st century.

Kata Kunci : Sejarah Sekaten,1938,2005,Politik Budaya,Cultural politics, grebeg, sekaten, night festival (exhibition)


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.