Laporkan Masalah

Analisis hubungan struktur dan indeks Corporate Governance dengan kualitas pengungkapan

KHOMSIYAH, Promotor Prof.Dr. Zaki Baridwan, M.Sc

2005 | Disertasi | S3 Ilmu Ekonomi

Ketika pertama kali diintroduksi dalam sistem HAKI, Lisensi Wajib ditumbuhkan sebagai instrumen guna menanggulangi atau meminimalkan dampak penyalahgunaan atau abuse HAKI. Pengaturannya dipandang perlu untuk menjaga agar HAKI yang sedari masa awalnya masih diliputi penilaian sebagai hak yang bersifat eksklusif, tidak disalahgunakan. Dalam kepustakaan HAKI, penyalahgunaan paling dikenal sebagai tindakan yang salah dalam pemanfaatan HAKI, dan merupakan alasan bagi penerapan tindakan koreksi yang berupa Lisensi Wajib. Dalam perkembangan berikutnya, alasan penyalahgunaan tidak lagi berdiri sendiri. Berturut-turut tampil alasan-alasan lain. Kemunculannya tidak teratur walau tidak semuanya bersifat sama seperti penyalahgunaan. Kebutuhan untuk menjamin perkembangan teknologi, yang sering berada di belakang alasan interdependensi diantara dua atau lebih penemuan atau Paten, jelas berbeda sifat dan hakekatnya dari soal penyalahgunaan. Begitu pula dengan alasan-alasan berikutnya, yaitu kebutuhan untuk dengan cepat mengatasi dampak negatif dari keadaan darurat atau peristiwa yang dinilai mengganggu kepentingan umum, dan praktek tertentu dalam pemanfaatan HAKI melalui pelisensian, yang dinilai mengancam atau merugikan persaingan bebas. Semuanya ditindak dengan menggunakan Pelisensian Wajib. Baru belakangan muncul konsepsi Penggunaan ( Pelaksanaan ) HAKI Oleh Pemerintah atau Government Use. Masalahnya, mana yang harus diatasi dengan menerapkan Lisensi Wajib dan mana yang sebaiknya dengan Government Use, tidak ada pemilahannya. Tidak satupun di antara 23 perjanjian internasional yang dikelola WIPO ataupun bahkan Persetujuan TRIPs 1994, memberi panduan yang jelas dan tegas mengenai persoalan tersebut. Karena kompleks-nya masalah HAKI dan spesifiknya permasalahan, penelitian yang bersifat juridis, normatif dan komparatif ini diarahkan untuk mencari pemecahan atas permasalahan tadi. Secara kongkrit, diarahkan untuk mencari jawab tentang bagaimana praktek pengaturan dan penerapan Lisensi Wajib itu di negara-negara lain dan di Indonesia, apakah pelisensian wajib diperlukan bagi pengembangan hukum di bidang HAKI di Indonesia, dan bagaimana prospek pelisensian wajib di masa depan serta kebutuhan penataan ulang berikut arahnya di Indonesia. Penelitian ini berakhir dengan kesimpulan, bahwa walaupun sebagai konsepsi Lisensi Wajib diterima luas dan dicerminkan dalam pengaturan di tingkat internasional dan peraturan perundang-undangan nasional, tetapi tidak diberlakukan pada semua jenis HAKI, dan penerapannya tidaklah sering. Lisensi Wajib dan Government Use hanya diterapkan dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mengatasinya. Dengan memperhatikan kebutuhan dalam pembangunan dan apalagi mengingat kondisi obyektif yang melingkupi kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini, serta posisi geofisik Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebaiknya memang Indonesia memiliki ketentuan Lisensi Wajib dan Government Use dalam pengaturan dan pengembangan hukum di bidang HAKI. Prospek kebutuhan dan pengaturan masalah ini sangat besar bagi Indonesia. Selain itu, demi perkembangan sistem HAKI itu sendiri, ataupun untuk mencegah kemungkinan pertikaian antar negara yang berpangkal dari perbedaan penafsiran serta praktek pengaturan ataupun penerapan yang berbeda satu dari lainnya, kian terasa adanya kebutuhan penataan ulang terhadap konsepsi di sekitar Lisensi Wajib ---dan Government Use ---- atau mungkin bentuk tindakan lain di luar itu. Alasan-alasan yang saat ini telah semakin berkembang sebaiknya ditata, dicocokkan dan dirasionalisasi dengan bentuk tindakan yang memadai. Hasil penelitian ini juga bermuara pada saran untuk dilakukannya penataan alasan-alasan tadi dan menyinkronkannya dengan bentuk tindakan yang sesuai dan tepat, terutama dalam peraturan perundang-undangan Paten, Hak Cipta dan Perlindungan Varitas Tanaman. Untuk menghindarkan kesan otoriter, dan untuk mewujudkan iklim pengelolaan sistem HAKI yang lebih adil, tetapi juga mendorong fungsi sebagai pengelola administratif sistem HAKI, disarankan sebaiknya Pelisensian Wajib diajukan dan diberikan ke Pengadilan Negeri dan tidak kepada Direktur Jenderal HAKI Departemen Kehakiman, serta memberi kesempatan banding terhadap keputusan tentang besarnya imbalan yang diberikan. Terakhir disarankan pula untuk mengubah ketentuan Pasal 50 b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sehingga memungkinkan penyelesaian praktek tertentu dalam pelisensian HAKI yang dinilai melanggar larangan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, dalam rangka dan berdasarkan Undang-undang tersebut.

From the very beginning of its initiation in the Intellectual Property Rights (IPR) system, Compulsory License has been developed as an instrument for minimizing the negative impact of its abuses. Up to nowadays its regulatory aspect has been addressed to look at closely so that as an exclusive right it will not be abused. Abuse of such rights is absolutely considered as wrongdoing, and is therefore used as a basis to an application of a Compulsory License. It is noted, however, that abuse is no longer be a sole excuse or reasons for the implementation of a Compulsory License. The presence of particular problems and situations as new excuses, such as national emergency or specific conditions that is considered as having importance to the public interests, or the need to assure the development of technology, or even some licensing practices that are considered as causing injury toward a free competition, have also been seen as a possibility for implementing a Compulsory License. Not only in terms of excuses, there has been also development with the correcting instrument. A concept of Government Use is brought up and operated as complimentary means to the previous one. However, neither in any of those 23 international agreements administered by WIPO nor in the TRIPs Agreement which is administered by WTO explains explicitly, which instrument got to be applied to each of those excuses. Due to the wide spectrum of the IPR problems and specific issues need to be addressed, a wide range of a legal, normative and comparative research method is herein applied. They are all objected to get answers to the very peculiar questions relating to regulatory practices of a Compulsory License both in Indonesia and in other countries, as to whether a Compulsory License is needed in the development of IPR laws in Indonesia, and as well as to its prospects vis a vis its need to orderly re-structure the whole concepts in Indonesia. Research in this important subject, ends up at some conclusions. Although Compulsory License is widely accepted as it is reflected in various international agreements and national legislations as well, it goes only with certain objects of IPR. Its implementation is also relatively rare. Along with Government Use, they are implemented only at a given and limited condition, and are needed in order to settle a given problem. Due to an enormous need and objective conditions of the people’s life, and to geophysical setting of the Unitary State of the Republic, it is really important that Indonesia has those of a Compulsory License and of a Government Use provisions in the development of IPR Laws. Aside of the fact that it is also for the sake of a good prospect in the future development of the IPR system, and in the light of minimizing possible international conflict among states which derives from differences of interpretations, regulatory practices and implementations, that steps are properly taken to orderly re-structure the concept of Compulsory License, Government Use, and of other possible instruments. They are all got to be compatibly and rationally paired one to the other. The research is also come up with recommendations that similar improvements to be considered in the existing national laws on Patents, Copyrights, and Plant Varieties Protection, and directed toward an orderly restructurization and synchronization between each of the defined reasons or excuses and its compatible recovery instruments. Improvement is also recommended in the procedural aspects, that application of a Compulsory License on Patent to be addressed to the court rather than to the Director General of IPR, Department of Justice. Further more, it is also recommended that a right of appeal against any decision pertaining to any disagreed amount of royalty payment that is made for such a compulsory license or Government Use is established. The last, is recommendation to amend article 50 Para b of the Law Number 5 of 1999 on Prohibition of Monopoly Practices and of the Unfair Competition, and delete a phrase of IPR licensing practices from the scope of exclusion of the Law. This latest recommendation will certainly and proportionally lessen the heavy burden of a Compulsory License concept, and promotes a better climate for competition.

Kata Kunci : Corporate Governance,Pengungkapan Informasi

  1. S3-FEB-2005-KHOMSIYAH-Abstract.pdf  
  2. S3-FEB-2005-KHOMSIYAH-Bibliography.pdf  
  3. S3-FEB-2005-KHOMSIYAH-Tableofcontent.pdf  
  4. S3-FEB-2005-KHOMSIYAH-Title.pdf