Laporkan Masalah

Hambatan-hambatan pemekaran Kota Yogyakarta :: Hambatan-hambatan sosiologik pemekaran batas-batas administratif kota dalam proses perkembangan riilnya

SOENJOTO, Prof.Dr. Soenyoto Usman, MA

2005 | Tesis | S2 Sosiologi

Penelitian berjudul Hambatan Pemekaran Kota Yogyakarta ini dilatarbelakangi pemikiran-pemikiran tentang kota, termasuk pembentukannya yang memperkenalkan teori evolusionisme dan non-evolusionisme. Gerak evolusioner dan non-evolusioner dapat muncul bergantian. Dimungkinkan pula gerak evolusioner muncul lama sendirian untuk memekarkan batas-batas riil kota tanpa diikuti segera oleh pemekaran batas-batas administratifnya seperti dialami Kota Yogyakarta. Kota yang dirancang-bangun tahun 1755 sebagai Ibukota Kraton Jogjakarta Hadiningrat itu memperoleh perencanaan dan pengembangannya berkali-kali, namun sejauh itu tanpa realisasi. Maka permasalahannya : (a) faktor-faktor sosiologik manakah yang menghambat realisasi tersebut (b) kekuatan-kekuatan eksternal (regional/nasional) manakah yang memperteguh hambatan-hambatan itu (c) solusi apakah yang diujudkan Pemerintah Kotanya berkenaan dengan hambatan-hambatan tadi. Oleh karena itu menjawab/mengidentifikasi ketiga-tiganya menjadi tujuan penelitian ini. Penelitian sosial-kualitatif ini berlapangan Kota(madya) Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten sekitar, terutama Sleman dan Bantul. Dengan sampling purporsif yang mengunggulkan triangulasi dan perspektif emic, respondennya meliputi para aktor, pejabat, dan narasumber perkotaan. Melalui teknik koleksi berupa interview, observasi, kuesioner dan dokumentasi, data dan informasi dianalisis. Cek dan recek data dan informasi ke lapangan menghasilkan konklusi yang mantap. Akhirnya diperoleh hasil berikut ini : Hambatan utama “realisasi” di masa penjajahan dengan ujud tekanan struktural kolonial (Kontrak Politik dan Perintah Bala Tentara) merupakan hambatan yang mustahil berulang. Adapun hambatan sosiologik yang relevan untuk memperingatkan perencanaan dan realisasi mendatang muncul pada pasca penjajahan berkenaan dengan lahirnya sejumlah konurb dan suburb di sisian luar Kota Yogyakarta. Ternyata hasrat / rencana Pemerintah Kota mengadopsinya berhadapan dengan vested interest para aktor pembangunan / pemerintah kabupaten-kabupaten tetangga, termasuk para aktor lokal batas kota di seputar konurb-konurb dan suburb-suburb bersangkutan. Mereka terdukung oleh lemahnya bargaining position Kota akibat banyaknya pemenuhan kebutuhan Kota bergantung pada potensi kabupaten-kabupaten ini (Jawaban – a). Lebih-lebih greenlight pemekaran dari Pemerintah Propinsi tidak diperoleh (faktor regional), sedangkan otonomi daerah (faktor nasional) sudah dimulai (Jawaban – b). Pemerintah Kota menjadi terdorong mengambil solusi internal (penataan ruang dan jalan) serta solusi eksternal berupa kerjasama dengan “tetangga” di bawah koordinasi Pemerintah Propinsinya untuk pengelolaan berbagai bidang kegiatan menuju kehidupan bersama yang lebih baik (Jawaban – c).

This research as titled Resistance to Yogyakarta Municipality Enlargement is inspired by some ideas about towns and cities, especially about theory of evolutionism and non-evolutionism in connection with each developing process. The both changes may arise by turns repeatedly. But the evolutionary changes may arise alone, really enlarging each town or city for along time without followed administratively as experienced by Yogyakarta Municipality. Yogyakarta has been built in 1755 as city simultaneously as the capital of palace. It has obtained many plans for administrative enlargement but no realization all the time. The problems are : (a) which sociological factors resisting the above realization (b) which external power strengthening those resistances (c) what kind of Municipal solution for facing the difficulties. The objective of this research is to identify the all. Conducted at Yogyakarta Municipality and its regencial surroundings, this qualitative social research has a purposive sampling by emphasizing triangulation and emical perspective. The respondents consist of urban actors, officials and resource persons. The instruments for collecting data are interviews, observations, questioners and documents. The analized data are checked and rechecked for resulting a constant conclusion. The results show that the primary resistance to the post colonial “realization” is the colonial structural pressure. But it is impossible for returning. So it is out of this research focus. The sociological resistances to the above enlargement realization and relevan for the next planning are the vested interests (among the developmental/governmental actors of neighbouring regencies) according to the conurbs and suburbs as desired by Municipality for being adopted. It gathers with bargaining position weakness of Municipality facing their neighbours (Answer – a). Because of no provincial green-light obtained, while local autonomy has been realized, the resistances have been stronger (Answer – b). All push the Municipality for creating internal solution (keeping space and traffic) with its external one (cooperating with neighbours) under the provincial coordination for managing activities reaching better life together (Answer – c).

Kata Kunci : Sosiologi,Pemekaran Kota,Hambatan Sosiologik


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.