Busana Tari Bedhaya Ketawang :: Ragam hias dan makna simboliknya
SEDJATI, Djadjang Purwo, Prof.Drs. SP. Gustami, SU
2004 | Tesis | S2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni RupaTani Bedhaya Ketawang memiliki keistimewaan yang hanya dipergelarkan pada saat upacara penobatan raja dan sejak Paku Buwana X juga dipergelarkan pada saat ulang tahun penobatan raja. Latihan menari dilaksanakan setiap tiga puluh lima hari sekali pada hari Selasa Kliwon (Anggara Kasih), serta tempat khusus untuk menyelenggarakannya yaitu di Pendhapa Sasanasewaka. Tari ini mengambil mitos dari peristiwa legendaris pertemuan Panembahan Senapati dengan Kangjeng Ratu Kidul. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui ragam hias busana tari Bedhaya Ketawang, makna simboliknya dan bagaimana fungsi ragam hias pada busana tari Bedhaya Ketawang terhadap tari itu sendiri. Data yang dipakai sebagai analisis diperoleh dari sumber pustaka, berupa babad, buku-buku tentang sejarah, ragam bias, falsafah dan mitologi Jawa Data lapangan diperoleh dari observasi dan wawancara dengan beberapa nara sumber. Tani Bedhaya Ketawang berfungsi sebagai ritual, meditasi, penobatan raja dan sarana kesuburan. Wujud busananya berupa dodot ageng bangun tulak alas-alasan; tapih dalem model samparan cindhe cakar, sondher cindhe Sekar; rias wajah paes ageng dhandhang gendhis; tata rambut gelung bokor mengkureb, dan perhiasan raja keputren. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ragam bias pada busana, tata rias dan perhiasan, memiliki makna simbolik yang memperlihatkan sebagaimana fungsi tari Bedhaya Ketawang. Dengan demikian ragam bias yang melekat pada busana tari Bedhaya Ketawang merupakan pendukung tujuan dipergelarkannya tari tersebut sebagaimana fungsinya menjadi legitimasi raja.
This study intended to describe the arrays of ornaments, their representations and functions of the Bedhaya Ketawang' dance, the royal female dance of Kasunanan Surakarta (Surakarta Kingdom). This ritual and mystical dance was only performed during the king coronation ceremony and its anniversaries. Rehearsal for this sacral dance could only happen on the Anggara Kasih day (Selasa Kliwon), that is a combination of the seven week days and the Javanese 5 days which, therefore, repeats after 35 days. The story of this cultural dance dated long back to the moment when Panembahan Senapati converged the Queen of the South Sea (the Indian Ocean), or also named The Queen Kencanasari. The data collection for this descriptive study relied on literary studies, observation and interviews. The findings suggested that the array of decorations on the costume, the face making and the jewelries, each symbolized all messages comprised in the dance. In other words, the details of decorations have been all needed elements which represented the ritual and ceremonial message, that is giving the legitimacy of and to the king to rule the kingdoms, the Kasunanan.
Kata Kunci : Tari Bedhaya Ketawang,Busana,Ragam Hias dan Makna