Dalam diskursus kajian ziarah dan pariwisata, diskusi saat ini tentang peran situs suci tidak hanya membahas hubungan spiritual namun juga membahas fungsi tempat untuk kompetisi di antara berbagai simbol dalam sejarah, identitas, dan praktik. Berbagai pengamatan, pengalaman dan pandangan yang dijelaskan di situs ini mengharuskan kita untuk melacak penggunaan religius dan komersial sekuler untuk melihat fenomena wisatawan, peziarah, dan masyarakat lokal dalam interaksi mereka termasuk praktik di dalam situs. Pesugihan adalah praktik mistik Jawa dan kepercayaan untuk menjadi kaya dengan cepat melalui kekuatan spiritual yang ditemukan di tempat-tempat suci tertentu dimana pencari datang untuk melakukan ritual sesuai dengan peraturan tertentu yang harus dipatuhi. Dalam kasus ini, bukit Surowiti Gresik Jawa Timur, yang memiliki beberapa tempat suci seperti gua, makam dan petilasan, menawarkan ruang untuk ritual yang memenuhi persyaratan tradisi Jawa ini. Hal itu bisa dipahami sebagai situs ziarah atau sebagai tempat wisata, karena saat ini diberi label oleh pemerintah daerah sebagai wisata religi atau sebagai kompleks wisata. Dalam penelitian ini, penulis akan fokus pada bagaimana istilah pesugihan diperdebatkan di situs mengenai berbagai kepercayaan pengunjung, pengelolaan tempat dan penduduk lokal yang akan mempengaruhi representasi situs. Metode yang digunakan oleh penulis adalah penelitian etnografi yang menemukan bahwa kontestasi terjadi pada identitas pengunjung dan penduduk lokal yang datang di lokasi di mana ia menganggap fungsi tempat itu sebagai ruang keagamaan atau sekuler, dan kadang-kadang dianggap sebagai praktik menyimpang fungsinya. Hal itu bisa dilacak dari tujuan ideologi pengunjung untuk datang ke lokasi mencari kekayaan, berdoa, atau hanya berwisata di waktu luang. Kontestasi juga terjadi dalam pengelolaan situs. Keberadaan tiga kustodian (juru kunci) dengan pandangan berbeda dari situs tersebut menunjukkan narasi yang dibangun mengenai sejarah, identitas, dan praktik yang sesuai ataupun yang harus dilakukan di tempat ziarah. Selanjutnya, dengan label tempat pesugihan, penghuni Surowiti merasa tidak nyaman dengan pelabelan tersebut. Oleh karena itu, muncul di penghuni lokal, terutama pemerintah desa, untuk memperebutkan label tersebut dengan klaim lainnya dengan memberi peran lebih berpengaruh baik religius maupun sekuler yang mengkopseptualisasikan kembali situs menjadi sebuah kompleks wisata yang lebih maju. Utamanya, penelitian ini bertujuan untuk memberi nuansa baru dari luar kontestasi yang akan terjadi di ziarah atau tempat wisata, yang sebagian besar akademisi berfokus pada diferensiasi filosofis apakah sakral atau profan, tourisme atau peziarahan dan modern atau tradisional.

In the pilgrimage and tourism discourses, the current discussion about the role of the sacred sites not only addresses spiritual connections but also discusses the function of the place for competition among various symbols in history, identity, and practice. The diverse of the audience, experience and view explicated in the site are interesting to be traced both religious and commercial-secular uses to see the phenomenon of tourists, pilgrims and local people in their interactions including the practices inside the site. Pesugihan is a Javanese mystic practice and belief in getting rich quick through spiritual power found in certain sacred places where seekers come to do rituals according to particular rules that must be obeyed. In this case, Surowiti hill Gresik in East Java, which has some sacred places as like a cave, tomb and petilasan, offers the space for the ritual which fulfills the requirement of this Javanese tradition. It can be understood as a pilgrimage site or as a tourism destination, since it is currently labeled by the local government as wisata religi (religious tourism) or as tourism complex. In this research, I will focus on how the term pesugihan is contested in the site regarding the various belief of the visitors, management of the place and local inhabitant that would be influenced to the site representation. The method used by the writers is ethnographical research which is found that the contestation happens in the identity of both visitors and local inhabitants who comes in the site where it considers the function of the place as the religious or secular spaces, and sometimes it assumes as the deviant practice. Its function can be traced from the aims of the visitors ideologies to come to the site for seeking a wealth, praying, or just looking for the religious-historical nuance. The contestation also happens in the management of the site. The existence of the three custodians (juru kunci) with the different view of the site point out the constructed narrative of the history, identity, and suitable practice that should represented in the pilgrimage place. Furthermore, with the label of pesugihan place, the inhabitants of Surowiti feel uncomforted with those landmarks of the pilgrimage. Therefore, it rises in the local inhabitant, especially local government, to contest those labels with the other claim to give more influential role both religiously or secularly in tourism complex development concept. Mainly, this research aims to give new nuance of the beyond contestation that will happen in pilgrimage or tourism place, that mostly focused on the differentiation of the philosophical whether it is sacred or profane, tourism or pilgrim and modern or traditional one..

Kata Kunci : pesugihan, contestation, ideological, managerial, representational