PERLINDUNGAN BURUH MIGRAN DALAM PRAKTEK DIPLOMASI Studi terhadap Diplomasi Pembebasan Buruh Migran Indonesia dari Ancaman Hukuman Mati Periode 2004-2014
ANIS HIDAYAH, Endang Purwaningsih, S.H., MH.
2017 | Tesis | S2 Ilmu HukumPerlindungan terhadap buruh migran merupakan mandat konstitusional negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Jaminan ini semestinya merupakan bentuk komitmen paling tinggi bagi negara untuk menghormati, memenuhi, melindungi hak asasi manusia bagi setiap buruh migran Indonesia. Termasuk hak atas hidup yang merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dan diganti dalam kondisi apapun. Bagi buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri, jaminan tersebut tak sepenuhnya nyata ketika tiga orang diantara mereka, yakni Ruyati, Yanti Iriyanti dan Darman Agustiri diakhiri hidupnya di tiang gantungan untuk sebuah kesalahan yang proses hukumnya belum tentu adil, independen dan imparsial sebagaimana disyaratkan dalam pasal 18 konvensi internasional mengenai perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. Eksekusi terhadap ketiganya terjadi pada masa pemerintahan Susiolo Bambang Yudhoyono. Demikian juga bagi ratusan lainnya yang masih menjalani proses hukum. Lemahnya bantuan hukum, terbatasnya anggaran, minimnya data serta minimnya pengawasan terhadap kinerja perwakilan RI di luar negeri mengakibatkan berkali-kali bangsa ini kecolongan, nyawa-nyawa pahlawannya tidak bisa diselamatkan. Diplomasi pembelaan terhadap mereka seringkali datang terlambat ketika vonis sudah dijatuhkan oleh pengadilan. Bahkan dalam kasus Ruyati, Yanti Iriyanti dan Darman Agustiri, diplomasi barangkali tidak bekerja. Pemerintah Indonesia baru merespon saat nyawa mereka sudah tidak bisa diselamatkan. Satgas untuk penanganan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati yang dibentuk pada 17 Juli 2011 sebenarnya terlambat, karena semestinya tidak perlu menunggu ada eksekusi. Eksekusi terhadap Ruyati akhirnya membuka kotak pandora, betapa dokumentasi dan data mengenai buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri belum terkonsolidasi. Masa kerja satgas yang hanya satu tahun meninggalkan pekerjaan rumah, karena kasus buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri bukan tanpa latar belakang. Kondisi kerja yang tidak layak terutama bagi pekerja rumah tangga migran seperti Ruyati dan Yanti Iriyanti selama ini menjadi faktor pemicu konflik dengan majikan yang dalam beberapa kasus mengakibatkan majikan terbunuh. Dan buruh migran Indonesia bukan merupakan pelaku pidana semata, tetapi lebih pada membela diri dari tindakan brutal majikan seperti penyiksaan dan perkosaan. Namun situasi ini justeru menghantarkan mereka pada tiang gantungan. Satgas yang dibentuk untuk merespon tragedi ini hanyalah ad hoc, atau bahkan reaktif dan tidak bisa menjawab secara utuh kerentanan buruh migran Indonesia dari ancaman hukuman mati. Terbukti, pasca pembentukan satgas, kasus baru buruh migran yang terancam hukuman mati terus bermunculan. Diplomasi sebagai ujung tombak penyelamat buruh migran Indonesia, harus didukung oleh keberanian dan ketegasan kepala negara serta mekanisme migrasi aman di dalam negeri terutama bagi buruh migran perempuan yang hingga saat ini skemanya yang tersedia secara sistematis melahirkan berbagai kerentanan dan pelanggaran hak asasi manusia. Hukuman mati di dalam negeri juga harus segera dihapuskan atau minimal moratorium, sehingga pemerintah Indonesia memiliki legitimasi moral yang kuat untuk membela warga negara yang terancam hukuman mati di luar negeri.
The protection of Indonesian migrant workers is the constitutional mandate of the state as stated in the preamble to the 1945 Constitution. This guarantee should be the highest form of commitment for the state to respect, fulfill, protect human rights for every Indonesian migrant worker. Includes the right to life which is a right that can not be reduced and replaced under any circumstances. For Indonesian migrant workers threatened with death penalty abroad, the guarantee is not entirely evident when three of them, Ruyati, Yanti Iriyanti and Darman Agustiri end their lives at the gallows for a mistake whose legal process is not necessarily fair, independent and impartial as Required in article 18 of the international convention on the protection of the rights of migrant workers and members of their families. Execution of all three occurred during the rezim of Susiolo Bambang Yudhoyono. Likewise, for hundreds of others who are still undergoing legal process. The weakness of legal aid, limited budget, lack of data and lack of supervision on the performance of representatives of Indonesian embassy abroad resulted in many times this nation is missed, the lives of heroes can not be saved. Their defense diplomacy often comes too late when the verdict has been handed down by the court. Even in the case of Ruyati, Yanti Iriyanti and Darman Agustiri, diplomacy may not work. The Indonesian government has only responded when their lives could not be saved. The task force for the handling of Indonesian migrant workers threatened with death sentence that was formed on July 17, 2011 was actually late, as it should not have to wait for execution. The execution of Ruyati finally opened the pandora's box, how documentation and data on Indonesian migrant workers threatened with death penalty abroad have not been consolidated. Working period of the task force that only one year leave the homework, because the case of migrant workers who are threatened with death sentence abroad is not without background. Unworkable working conditions especially for migrant domestic workers such as Ruyati and Yanti Iriyanti have been the triggering factors of conflict with employers which in some cases resulted in employers being killed. And Indonesian migrant workers are not only criminal actors, but rather defend themselves from brutal employers such as torture and rape. But this situation is actually delivering them to the gallows.The task force set up to respond to this tragedy is ad hoc, or even reactive and can not fully answer the vulnerability of Indonesian migrant workers from the threat of capital punishment. Evidently, after the formation of a task force, new cases of migrant workers threatened with death penalty continue to emerge. Diplomacy as the spearhead of the rescuer of Indonesian migrant workers should be supported by the courage and assertiveness of the head of state and the mechanism of safe migration in the country, especially for female migrant workers whose schemes are now available systematically resulting in various vulnerabilities and violations of human rights. Domestic death penalties must also be immediately abolished or at least a moratorium, so the Indonesian government has strong moral legitimacy to defend citizens who are threatened with death penalty abroad.
Kata Kunci : Buruh migran, diplomasi, hukuman mati, perlindungan negara