Laporkan Masalah

KEHUTANAN SOSIAL DI PROVINSI LAMPUNG: Perkembangan, Pendanaan, dan Kontribusi terhadap Pendapatan Masyarakat dan Perekonomian Wilayah

SANUDIN, Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc.; Dr. Ir. Ronggo Sadono; Dr. Ir. Ris Hadi Purwanto, M.Agr.Sc.

2017 | Disertasi | S3 Ilmu Kehutanan

Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sumber daya hutan di dunia yaitu Forest for People sudah dideklarasikan pada kongres kehutanan sedunia ke-8 di Jakarta pada tahun 1978. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencanangkan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), dan skema lainnya dengan target yang cukup tinggi, namun target implementasinya belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Dalam penelitian ini, Kehutanan sosial (Social Forestry) meliputi bentuk-bentuk pengelolaan hutan baik yang diinisiasi oleh pemerintah seperti HKm, HTR maupun yang diinisiasi oleh masyarakat seperti Hutan Rakyat (HR). Untuk mendorong pengelolaan hutan lestari, peran pendanaan sangat strategis sehingga pemerintah melalui Pusat Pembiyaaan Pembangunan Hutan (PPPH) menyediakan skema Pinjaman Dana Bergulir (PDB). Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui perkembangan program kehutanan sosial berupa HKm, HTR, dan HR; 2) mengetahui efektivitas penyaluran dan pengembalian PDB-HR dan PDB-HTR serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan 3) mengetahui kontribusi kehutanan sosial terhadap pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah (kabupaten) dan merumuskan implikasi kebijakan kehutanan sosial. Penelitian dilakukan di Provinsi Lampung pada bulan September 2014 - Maret 2015 dengan kabupaten contoh yakni Kabupaten Lampung Selatan, Tanggamus, Lampung Barat, dan Kabupaten Pesisir Barat. Provinsi Lampung dijadikan sebagai lokasi penelitian dengan mempertimbangkan beberapa hal yakni: 1) terdapat bentuk-bentuk kehutanan sosial seperti HTR, HKm, dan HR dan 2) termasuk provinsi yang paling awal dalam implementasi kehutanan sosial terutama HKm. Penelitian dilakukan dengan metode survei, sehingga ditentukan sampel yang representatif terhadap populasi target untuk mendapatkan data yang diinginkan. Adapun responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai petani (HKm, HTR, dan HR). Penentuan sampel penelitian secara umum menggunakan metode multistage random sampling, yaitu: 1) penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan purposive sampling yaitu lokasi dengan bentuk kehutanan sosial yang ada (HKm, HTR, dan HR) di semua kabupaten/kota di Provinsi Lampung berdasarkan inventarisasi data yang tersedia; 2) secara purposif pula ditentukan kelompok tani yang sesuai dengan bentuk kehutanan sosial yang ada (HKm, HTR, dan HR); dan 3) menentukan sampel responden secara random dari masing-masing kelompok minimal sebanyak 30 responden. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Perkembangan kehutanan sosial dilihat dari sebaran dan permasalahan utama yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan HKm, HTR, dan HR dianalisis menggunakan Diagram Tulang Ikan (Fishbone Diagram). Data kualitatif persepsi responden terhadap penyaluran dan pengembalian PDB-HTR dan PDB-HR dilakukan melalui perhitungan kuantitatif berupa skor penilaian keefektifan dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyaluran dan pengembalian PDB-HTR dan PDB-HR dianalisis menggunakan regresi logistik. Kontribusi kehutanan sosial terhadap pendapatan masyarakat dihitung dengan membandingkan pendapatan yang diperoleh dari kehutanan sosial terhadap pendapatan total, sementara kontribusinya terhadap perekonomian wilayah dianalisis menggunakan Location Quotient (LQ) dan analisis potensi tambahan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Provinsi Lampung HKm tersebar di delapan kabupaten dari 15 kabupaten/kota yang ada dengan luas total 172.871,62 ha dan jumlah petani yang terlibat dalam HKm sebanyak 50.319 orang, HTR seluas 16.651 ha yang semuanya berlokasi di Kabupaten Pesisir Barat. Sementara sebaran HR berada di seluruh kabupaten/kota yang ada, namun sebaran tersebut tidak diikuti oleh ketersediaan data dan informasi terkait luasan dan produksi yang memadai. Permasalahan utama yang dihadapi dalam implementasi HKm, HTR, dan HR adalah aspek pemberdayaan masyarakat akibat keterbatasan jumlah fasilitator dengan banyaknya jumlah kelompok tani yang harus didampingi ditambah dengan keterbatasan anggaran baik dari pemerintah pusat/provinsi maupun kabupaten. Penyaluran PDB-HR di Kecamatan Katibung, Lampung Selatan termasuk dalam kategori efektif. Faktor yang paling berpengaruh nyata terhadap penyaluran PDB adalah besarnya jumlah pinjaman, artinya peningkatan jumlah pinjaman akan memberi peningkatan kemungkinan penyaluran PDB. Sementara faktor yang mempengaruhi peluang pengembalian PDB adalah pendapatan di luar usaha tani dan jumlah pinjaman yang berarti bahwa pendapatan di luar usaha tani dan jumlah pinjaman secara signifikan meningkatkan kemungkinan pengembalian PDB. Untuk kasus kinerja PDH-HTR di Koperasi HTR Labuwai Lestari Kabupaten Pesisir Barat, bebeberapa kondisi seperti tingginya persaingan bagi bibit yang ditanam untuk mendapatkan hara dan sinar matahari sehingga pertumbuhan bibit tidak sesuai dengan yang diharapkan, konflik yang terjadi antara petani penggarap dan pihak koperasi, dan keterbatasan yang dimiliki oleh pengurus Koperasi HTR Labuwai Lestari dalam hal jumlah tenaga dan kapasitas dalam pengelolaan hutan terutama aspek silvikultur akan menyebabkan Koperasi HTR Labuwai Lestari diprediksi tidak dapat mengembalikan PDB-HTR dari PPPH. Pengelolaan HKm terutama kopi pada empat kelompok tani (KT) yakni KT Mitra Wana Lestari Sejahtera (MWLS) dan KT Bina Wana Lestari (BWL) di Kabupaten Lampung Barat dan KT Beringin Jaya (BJ) dan KT Harapan Sentosa (HS) di Kabupaten Tanggamus memberikan kontribusi bagi pendapatan masyarakat lebih dari 50%, hal ini menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap HKm. Dalam konteks kontribusi terhadap perekonomian wilayah (kabupaten), kontribusi HKm dengan jenis dominan kopi dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja dan sisi potensi tambahan pendapatan. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, HKm kopi memberikan kontribusi sebesar 5,81% di Kabupaten Lampung Barat dan sebesar 7,19% di Kabupaten Tanggamus, sementara dilihat dari sisi potensi tambahan pendapatan, HKm kopi mempunyai potensi tambahan pendapatan sebesar Rp 2.185.506.370.000 di Kabupaten Lampung Barat dan sebesar Rp 3.641.261.475.000 di Kabupaten Tanggamus, nilai ini menunjukkan adanya kebocoran wilayah di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus sebagai konsekuensi dari tidak tersedianya industri pengolahan kopi di Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus sehingga kopi dijual ke daerah lain yang memiliki industri pengolahan yang sudah maju. Implementasi HKm, HTR, dan HR memerlukan kerjasama dari berbagai pihak seperti pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, termasuk LSM dan perguruan tinggi sesuai dengan perannya masing-masing.

A new approach in the global forest resources management, Forest for People, has been declared at the 8th World Forestry Congress held in Jakarta in 1978. The government has acknowledged various schemes of community-based forest management such as Community Forest (Hutan Kemasyarakatan/HKm), Community Timber Plantation (Hutan Tanaman Rakyat/HTR), Rural Forest (Hutan Desa/HD), and others forms. These practices are designed to meet the relatively high targets, yet the implementation has not shown the optimal results. In this study, social forestry means several forest management schemes as initiated by the government including HKm and HTR as well as by the community such as Private Forest (HR). Supporting sustainable forest management is strategic, hence, the government promotes Revolving Fund provided by Forest Development Funding Center (Pusat Pembiyaaan Pembangunan Hutan/PPPH). This study is aimed, firstly to determine the development of social forestry programs including HKm, HTR, and HR; secondly to identify the effectiveness of the disbursement and repayment of RFL by HR and HTR as well as the factors that affected it; thirdly to identify the social forestry contribution for community and regional income; and the last to formulate the implications of social forestry policy. The study was carried out in Lampung Province covering the regencies of South Lampung, Tanggamus, West Lampung, and West Pesisir in September 2014 to March 2015. The preference of study area was based on several considerations, namely: 1) Lampung has several schemes of social forestry including HTR, HKm, and HR, and 2) Lampung is one of the initial provinces that implements social forestry, particularly HKm. Survey method was employed in this study, thus, representative samples among the target population were determined to obtain the expected data. The respondents were chosen based on the households that practicing HKm, HTR, and HR. Samples were selected based on multistage random sampling method, namely: 1) the determination of study site was by purposive sampling based on available data inventory; 2) farmer groups were determined purposively in accordance with the existing schemes of social forestry (HKm, HTR, and HR); and 3) respondents were selected randomly from each farmer group with minimum of 30 respondents. Data was analyzed qualitatively and quantitatively. Social forestry development was assessed from the dispersion, prevailing main problems, and expected conditions. Problems in the management of HKm, HTR, and HR were analyzed by using the Fishbone Diagram. Qualitative data of respondents perception on the disbursement and repayment of HTR-RF and HR-RF was obtained from quantitative calculation by scoring the effectiveness value. In addition, factors that influenced disbursement and repayment of HTR-RF and HR-RF were examined by using logistic regression. The contribution of social forestry to community revenue was calculated by comparing the income derived from social forestry and the total revenue, while the contribution to the regional economy was analyzed by using Location Quotient (LQ) and potential additional revenues. The results showed that HKm spreads in eight districts of 15 districts/cities in Lampung Province, with a total area of 172.871,62 ha and involves approximately 50.319 farmers. HTR covers 16.651 ha located in the West Pesisir regency. HR exists in all regencies/municipals, but the exact data of this forest is not available. The main problem in the implementation of HKm, HTR, and community empowerment, which is caused by limited of facilitators to assist farmer groups due to budget constraints that is faced by both of provincial and national government level. Disbursement of HR-RF in Katbung sub-district, South Lampung was effective. The most significant factor affecting the effectiveness was the amount of the loan, meaning that the increase in the amount will augment the possibility of RF disbursement. Meanwhile, the factors affecting the possibility of RF repayment was the income obtained from non-farming and the loan amount, hence, those two factors significantly enhanced the possibility of RFL repayment. Unfortunately, HTR-RF in Koperasi HTR Labuwai Lestari, West Pesisir regency, encountered several problems including the unoptimal growth of the seedlings, conflict between the farmers and the cooperative managements, the scarcity of capable human resources and limited silvicultural knowledges of the villagers. Hence, Koperasi HTR Labuwai Lestari was estimated to be incapable to make repayment. HKm management, particularly for coffee plantations, which was carried out by four farmer groups (KT), namely KT Mitra Wana Lestari Sejahtera (MWLS), KT Bina Wana Lestari (BWL) in West Lampung regency; KT Beringin Jaya (BJ) and KT Harapan Sentosa (HS) in Tanggamus regency, contributed which showed a high level of economic reliability of HKm. HKm was outstanding in providing additional employment and revenues. Community management of coffee forests contributed additional employment as high as 5.81% in West Lampung and 7.19% in Tanggamus. This system emerges potential additional incomes, as high as IDR 2.185.506.370.000 in West Lampung and IDR 3.641.261.475.000 in Tanggamus. These values indicated an economic leakage due to the absence of coffee processing industry in those regencies, thus, coffee was processed to other regions. Based on those findings, the implementation of HKm, HTR, and HR requires a synergy of all stakeholders comprising of central government, provincial government, regional government, NGOs, and universities in accordance to their respective roles.

Kata Kunci : kehutanan sosial, perkembangan, pinjaman dana bergulir, kontribusi

  1. S3-2017-336418-abstract.pdf  
  2. S3-2017-336418-bibliography.pdf  
  3. S3-2017-336418-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2017-336418-title.pdf