Laporkan Masalah

Defisit Demokrasi dalam Tarik Ulur Kebijakan Reklamasi Teluk Benoa Bali, Pergeseran Ruang Publlik dalam Tatanan Kebijakan Teknokratis vs Pluralis

ANAK AGUNG GDE PUTU WAHYURA, Dr. Gabriel Lele

2015 | Skripsi | S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA (MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK)

Polemik reklamasi Teluk Benoa Bali berawal dari serangkaian kebijakan Gubernur Bali tentang kebijakan rencana pemanfaatan ruang dan wilayah perairan Teluk Benoa Bali. Penolakan kebijakan reklamasi Teluk Benoa yang disuarakan oleh Masyarakat Bali dikarenakan kebijakan Gubernur Bali hanya diputuskan sepihak oleh para penguasa di lingkaran elit Pemerintah Provinsi Bali. Kebijakan reklamasi Teluk Benoa yang diputuskan secara teknokratis cenderung melemahkan derajat demokrasi. Minimnya partisipasi publik dalam formulasi kebijakan reklamasi Teluk Benoa Bali mengakibatkan terjadinya konflik nilai dalam demorasi. Penolakan mengenai reklamasi Teluk Benoa Bali yang dikumandangkan masyarakat Bali dikarenakan tidak adanya akomodasi bagi publik pada saat formulasi kebijakan reklamasi Teluk Benoa, padahal peningkatan demokrasi di suatu negara dikatakan berhasil seiring dengan terciptanya good governance (hubungan masyarakat-pemerintah-swasta). Pengambilan kebijakan secara pluralis hadir sebagai kritik dari pengambilan kebijakan teknokratis yang terkadang membuat kebijakan hanya diabdikan untuk kepentingan tirani semata. Pendekatan pluralis menawarkan kebijakan yang komunikatif dan partisipatif guna mengakomodasi kepentingan publik. Permasalahan reklamasi Teluk Benoa Bali bukan hanya perdebatan tentang kebijakan teknokratis vs pluralis, tetapi ada tunggangan-tunggangan kepentingan politik dari elit Gubernur Bali yang memaksakan dan cenderung menutup-nutupi tercetusnya kebijakan reklamasi Teluk Benoa Bali. Terbentuknya civil society dalam menolak kebijakan reklamasi Teluk Benoa Bali, menjadi studi yang menarik untuk mengukur derajat demokrasi dalam kebijakan publik. Tarik-ulur kebijakan reklamasi Teluk Benoa Bali juga merupakan suatu perebutan ruang publik karena banyaknya kepentingan mulai dari pemerintah, swasta, partai politik yang cenderung mendistorsi peran publik. Hal inipun menyebabkan berubahnya makna dari ruang publik, yang bukan lagi ruang bagi publik untuk menyuarakan posisi tawar publik tetapi ruang perebutan kepentingan private antara penguasa dan investor.

The polemics of Benoa Bay Bali reclamation, originated from a series of Governor Bali policy for utilization of space and territorial waters of the Benoa Bay. Rejection Benoa Bay reclamation policies voiced by the people of Bali due to policy of the Governor of Bali just decided unilaterally by the authorities in the elite circle of the Bali Provincial Government. Benoa Bay reclamation policies are decided by the technocratic tend to weaken the degree of democracy. The lack of public participation in policy formulation of Benoa Bay Bali reclamation policy resulted in demorasi value conflicts. Rejection of Benoa Bay Bali reclamation from the Balinese echoed due to the lack of accommodation for the public at the time of formulation of Benoa Bay reclamation policy, whereas the increase in democracy in a country is successful due to the creation of good governance (society-government-private). Pluralist policy decision comes as a critique of technocratic policy-making, sometimes make policy only devoted to the interests of sheer tyranny. Pluralist approach offers a communicative and participatory policies in order to accommodate the public interest. The Problem of Benoa Bay Bali reclamation is not just a debate about policy technocratic vs pluralist, but the highest political interests of the elite force the Governor of Bali and tend to cover up the outbreak of Bali Benoa Bay reclamation policy. The formation of civil society in policy refusing Benoa Bay Bali reclamation, be an interesting study to measure the degree of democracy in public policy. Tug reclamation policy of Benoa Bay Bali is also a struggle for "public space" because the are many interests ranging from government, private sector, political parties tend to distort the public space. This also causes changes in the meaning of public space, which is no longer space for the public to voice their bargaining position public, but the struggle for the interests of private space between the government and investors.

Kata Kunci : Demokrasi, Good Governance, Kebijakan Elitis, Kebijakan Teknokratis, Kebijakan Pluralis, Civil Society, Ruang Publik.

  1. S1-2015-296863-abstract.pdf  
  2. S1-2015-296863-bibliography.pdf  
  3. S1-2015-296863-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2015-296863-title.pdf