KADAR RESIDU ENROFLOKSASIN YANG DIBERIKAN PER ORAL DAN INTRAMUSKULER PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) YANG DIINFEKSI Aeromonas salmonicida
FERA ARYANTI, Prof. drh. Kurniasih, MV.Sc., Ph.D
2014 | Tesis | S2 Sain VeterinerPengunaan enrofloksasin pada peternakan dan akuakultur berdampak adanya residu dalam makanan dan terbentuknya resistensi bakteri terhadap enrofloksasin pada hewan dan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar residu enrofloksasin dalam daging ikan nila pada 1 minggu, 4 minggu dan 8 minggu sesudah pengobatan. Sebanyak 25 ekor ikan nila sehat terbagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 sebanyak 5 ekor tanpa perlakuan. Kelompok 2 dan 3 masing-masing terdiri dari 10 ekor ikan diinfeksi 0,1 ml konsentrasi 106 sel/ml A. salmonicida subsp. smithia dan A. salmonicida subsp. achromogenes yang diberikan intramuskuler. Enam hari pasca infeksi, dilakukan pengobatan dengan Baytril® yang diberikan per oral untuk kelompok 2 dan intramuskuler untuk kelompok 3 selama 5 hari dengan dosis terapi 10 mg/kg bb. Minggu ke-1, minggu ke-4 dan minggu ke-8 pasca pengobatan untuk tiap kelompok diambil masing-masing 3 ekor ikan untuk dianalisis residu enrofloksasin dengan metode diffusion pada Mueller Hinton Agar (MHA) dan secara kuantitatif menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Pemeriksaan residu enrofloksasin dengan uji MHA pada 1 minggu dan 4 minggu pasca pengobatan menunjukkan terbentuk zona hambatan, sedangkan pada 8 minggu pasca pengobatan tidak terbentuk zona hambatan. Hasil uji kuantitatif residu enrofloksasin pada daging ikan nila yang diinfeksi A. salmonicida subsp. smithia dan diobati secara per oral pada 1 minggu, 4 minggu dan 8 minggu pasca pengobatan sebesar 33,0 μg/g, 6,10 μg/g dan 0,0021 μg/g, sedangkan residu pada daging ikan nila yang diinfeksi A. salmonicida subsp. achromogenes dan diobati enrofloksasin secara intramuskuler menunjukkan residu sebesar 35,79 μg/g, 2,18 μg/g dan 0,00065 μg/g. Keseluruhan residu yang ditemukan pada daging ikan nila setelah 1 minggu dan 4 minggu pasca pengobatan melebihi batas maksimal residu enrofloksasin menurut ketentuan Standar Nasional Indonesia yaitu sebesar 0,01μg/g. Perbedaan rute pengobatan enrofloksasin per oral rata-rata residu yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan intramuskuler, namun secara statistik keduanya tidak berpengaruh terhadap kadar residu dalam daging ikan baik pada 1 minggu maupun 4 minggu pasca pengobatan.
Use of enrofloxacin on livestock and aquaculture impact on the presence of residues in food and the formation of bacterial resistance to enrofloxacin in animals and humans. This study aims to determine the level of enrofloxacin residues which was given orally and intramuscularly in the tilapia (Oreochromis niloticus) meat infected by A. salmonicida at 1 week, 4 weeks and 8 weeks post medication. A total of 25 healthy tilapia fish are divided into 3 groups. Group 1 by 5 tails without treatment, while groups 2 and 3, each consisting of 10 fish were infected in 0.1 ml concentration 106 cells / ml of A. salmonicida subsp. smithia and A. salmonicida subsp. achromogenes given intramuscularly. Six days after infection, treatment with Baytril® is administered orally to group 2 and intramuscularly to group 3 for 5 days with therapeutic doses of 10 mg / kg bw. Week 1, week 4 and week 8 post-treatment for each group taken each 3 fish for enrofloksasin residue analysis by diffusion method on Mueller Hinton Agar (MHA) and quantitatively by using High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Enrofloxacin residue examination with diffusion test at 1 week and 4 weeks post-treatment showed formation of inhibition zone, whereas at 8 weeks post-treatment showed no inhibition zone. In the quantitative test results, infected tilapia by A. salmonicida subsp. smithia and treated orally at 1 week, 4 weeks and 8 weeks post-treatment showed enrofloxacin residues an average of 33.0 μg/g, 6.10 μg/g and 0.0021 μg/g, whereas residues in meat of infected tilapia by A. salmonicida subsp. achromogenes and enrofloxacin treated intramuscularly showed an average of 35.79 μg/g, 2.18 μg/g and 0.00065 μg/g. Overall enrofloxacin residues found in tilapia meat after 1 week and 4 weeks post-treatment exceed the maximum residue limit according to the provisions of the National Standard of Indonesia at 0.01 μg/g. Enrofloxacin treatment given orally produce higher average residue levels compare to intramuscularly administration, but not statistically significant effect on both residues found in tilapia meat both at 1 week and 4 weeks post-treatment.
Kata Kunci : Residu, Enrofloksasin, A. salmonicida, Kierby Bauer, KCKT