Laporkan Masalah

STRATEGI DEWAN KESENIAN JAKARTA DALAM MENCAPAI DAN MEMPERTAHANKAN POSISI DI ARENA KEBUDAYAAN

ZURMAILIS, SS, MA, Prof. Dr. C. Soebakdi Soemanto, S.U. ;Prof. Dr. Faruk, S.U.

2018 | Disertasi | S3 Sastra

Penelitian ini mengkaji tentang strategi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ dalam mencapai dan mempertahankan legitimasi di arena kebudayaan. Objek kajian adalah praktik kesenian yang menjadi program rutin DKJ, yang dianalisis dengan menggunakan teori Strukturalisme Genetik Pierre Bourdieu. Teori ini berangkat dari konsep dasar mengenai habitus dan arena, agen dan struktur, asas yang melahirkan dan menyusun kebiasaan, dimana agen yang berada dalam suatu posisi kelas atau struktur yang sama akan memiliki pengalaman repetitif yang sama, memproduksi habitus dan perspektif bersama yang ditempatkan sebagai doksa. Doksa menjadi pedoman dan batas-batas dalam menstrukturkan praktiksosial, memberlakukan aturan main dalam eufemisme dan sensorisasi sebagai praktik kekerasan simbolik yang menjadi strategi pertarungan di arena. Hasil penelitian menunjukkan bahwa doksa yang diyakini sebagai kebenaran yang rasional, yaitu kebebasan seni dan kaum seniman, terbentuk dari pengalaman repetitif agen-agen yang mengalami kekerasan simbolik dalam struktur kolonial dan melalui persinggungan dengan Sticusa, kemudian CCF, dan USIS, lembaga asing yang menyokong perjuangan budaya dalam pertarungan diarena kebudayaan melawan kekuatan komunis, pada masa lima tahun pertama kemerdekaan yang dapat dimenangkan ketika berakhirnya Orde Lama. Akumulasi modal dari kemenangan pada pertarungan sebelumnya itu menjadi modal simbolik dalam memperjuangkan bangkitnya kebudayaan baru, melalui pendirian DKJ. Lembaga ini memiliki legitimasi untuk menetapkan apa yang dinamakan kebudayaan, dan mempertahankan legitimasi itu melalui agenda kegiatan budaya yang dilembagakan dalam program-program kegiatan kesenian. Para penentang doksa/heterodoksa akan selalu muncul di dalam pertarungan di arena. DKJ membangun strategi untuk mengatasinya, dengan menetapkan aturan main bagi mereka yang terlibat dalam arena permainan dan melalui praktik kekerasan simbolik lewat eufemisasi dan sensorisasi, yaitu praktik tindakan dan produksi teks-teks budaya berupa penulisan ilmiah dan karya sastra agar mampu bertahan, menguatkan doksa dan posisinya di arena kebudayaan.

This research studied about The Art Council of Jakarta's strategy to achieve and defend its legitimation in the field of art. The object of this research is the art practice which is a routine program of The Art Council off Jakarta (DKJ), analyzed using the Structuralism Genetic Theory by Pierre Bourdieu. This theory started from the basic concept of habitus and arena, agent and structure, principles that create and develop habits, where the agents who share the same class position or structure will have a same repetitive experience, producing habitus and perspective together placed as doxa. Doxa becomes the culture capital which build guides and limits in structuring social practice, making the rules in eufemisation and censorship as the symbolic violence practice which becomes the strategy to win the battle in the arena. The result of this research is the doxa believed as a rational truth, which is the freedom of art and artists, made of repetitive experiences of the agents who suffered the symbolic violence in colonial structure and through the touch with Sticusa, then CCF, and USIS, the foreign organization that supports the cultural fight in the field of art against communists power, in the first five years of independence won after the Old Order (Orde Lama). The capitals accumulation from the previous fight used as the symbolic capital to fight for the rise of a new culture, through the making of DKJ. This organization has the legitimation to set what is a culture, and defend the legitimation through the agenda of cultural activities which become an organizations in cultural activity programs. Heterodoxa will always show up in the battle in the arena. DKJ build a strategy by making the rules for those who involved in the game arena and through the symbolic violence practice using eufemisation and censorship, which is action practice and the production of cultural texts like scientific writing and literature to be survived, strengthen the doxa and its position in the field of art.

Kata Kunci : habitus, arena, capital, symbolic violence practice, eufemisation, censorship, habitus, arena, modal, praktik kekerasan simbolik, eufemisasi dan sensorisasi.


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.